Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Daftar Blog Saya

Blogroll

Pengunjung Q

Lantunan Penyejuk Kalbu

Categories

Label

Silahkan Tinggalkan Pesan


ShoutMix chat widget

ISLAM WILL RISE AGAIN

Khilafah

Pengunjung Setia

sEbelum ninggalin blog SY , , , , tak usah pElit Aa thu memberikan komentarnya sepatah 2 kata.....key

Pemberitahuan Jumlah

Sponsor





























Free Computer Tips Index
Free Computer Tips Index Free Computer Tips Info
Free Computer Tips Info Free Computer Tips Articles
Free Computer Tips Articles
Powered By Blogger

BLOG AL FIQRU

friduan. Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer

Followers

Mengenai Saya

Foto saya
Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Indonesia
seorang hamba yang amat lemah n hina tanpa bantuan Allah...

My Arsip

Rabu, 24 November 2010

PENDIDIKAN GRATIS BISA DIWUJUDKAN


Rokhmat S. Labib, M.E.I:


Pengantar Redaksi:
Terpuruk! Itulah kata yang paling pas untuk menggambarkan realitas pendidikan kaum Muslim saat ini. Semua orang berharapakan  adanya perubahan dalam masalah ini. Untuk itu, perlu diketahui pangkal kebobrokan pendidikan Indonesia saat ini; bagaimana pula peran negara dan sikap yang harus diambil oleh kaum Muslim. Berikut ini, kami menghadirkan wawancara singkat dengan Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I (RSL) untuk mengulas pandangan Islam dalam masalah pendidikan ini. Beliau lahir di Bojonegoro, 26 Juni 1971.  Dari pernikahannya dengan dr. Estyningtias P, beliau dikaruniai tiga orang putra-putri, masing-masing, Fahmia Nuha Tsabita (4 th), Muhammad Fahmi Burhanuddin (4 th), dan ShofiaNuha Rosyida (10 bln). Berikut petikan wawancara redaksi dengan salah seorang anggota Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia ini.



Tanya: Ustadz, bagaimana profil pendidikan ideal itu?
RSL: Pendidikan dapat dikatakan ideal jika mampu menghasilkan dua hal penting. Pertama, mampu melahirkan generasi yang memiliki kepribadian tangguh. Itu tercermin pada perilakunya yang baik, taat syariat, serta kokoh menghadapi berbagai godaan dan tantangan dalam kebenaran.
Kedua, mampu menghasilkan generasi yang menguasai pengetahuan; baik yang berkaitan dengan cara menjalani hidup secara benar, seperti akidah, syariat, dan sebagainya maupun berbagai pengetahuan yang dapat menopang kehidupan dan berbagai sarananya, seperti sains dan teknologi.
Tanya: Terus, bagaimana dengan pendidikan di Indonesia saat ini?
RSL: Yang pasti, sangat jauh dari ideal. Bahkan bisa dikatakan, pendidikan di Indonesia gagal mengemban tugas mewujudkan dua hal penting itu.
Tanya: Bisa dijelaskan secara lebih kongkret?
RSL: Pendidikan kita belum mampu menghasilkan generasi yang unggul dalam dalam penguasaan sains dan teknologi. Memang, ada yang bagus, namun jumlah yang tidak bermutu jauh lebih banyak. Menurut hasil studi International Educational Achievement (IEA), misalnya, kemampuan membaca siswa SD di Indonesia berada di urutan ke-38 dari 39 negara yang diteliti. Penelitian The Third International Mathematics and Science Study Repeat tahun 1999 juga menunjukkan, bahwa kemampuan siswa SLTP Indonesia di bidang ilmu pengetahuan alam ada di urutan ke-32, dan untuk matematika ada di posisi ke-34 dari 38 negara yang diteliti di seluruh dunia.
Dampaknya penguasaan saintek bangsa ini amat jauh tertinggal. Lihat saja, hampir semua produk teknologi yang digunakan di sini harus diimpor. Bahkan, hasil pertanian, seperti beras, gula, kedelai, dan sebagainya harus impor. Memang, ini bukan semata persoalan pendidikan. Namun, pendidikan juga turut bertanggung jawab atas keterbelakangan ini.
Tanya: Bagaimana dengan masalah pembentukan karakter dan kepribadian?
RSL: Jauh lebih parah. Pendidikan kita telah gagal melahirkan generasi yang berkepribadian tangguh. Sebaliknya, perilaku rusak lebih banyak dipertontonkan oleh pelajar dan mahasiswa kita. Banyaknya pelajar yang terlibat tawuran, pergaulan dan seks bebas, aborsi, miras, narkoba, dan berbagai kasus kriminal dan kemaksiatan menjadi bukti kegagalan itu.
            Jika dua tugas tersebut telah gagal diemban pendidikan kita, lantas apa lagi yang dapat diharapkan? Anehnya, biaya pendidikan yang harus dibayar masyarakat terus meroket setiap tahun.
             Tanya: Sebenarnya, apa pangkal persoalan dari kebobrokan pendidikan ini?
RSL: Tidak lain sekularisme-kapitalisme. Pendidikan di Indonesia berdiri atas dasar sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Ini amat jelas terlihat dalam pendidikan kita. Lihat saja, bagaimana agama diposisikan. Agama dianggap hanya salah satu mata pelajaran, bukan dasar untuk semua ilmu dan pengetahuan yang diajarkan. Wajar, meskipun pelajaran agama diberikan, pelajaran lainnya, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, tidak terikat dengan ajaran agama.
Teori Evolusi Darwin yang jelas bertentangan dengan akidah Islam, misalnya, dimasukkan dalam pelajaran Biologi SMA dan terus-menerus diajarkan tanpa ada bantahan yang memadai.
            Materi yang diajarkan dalam pengetahun-pengetahuan sosial kondisinya jauh lebih parah. Pelajaran sejarah, ekonomi, tatanegara, sosiologi, kesenian, olahraga, dan semacamnya tak terjamah oleh jangkauan ketentuan syariat; malah banyak diadopsi dari Barat. Tidak aneh, jika generasi yang berkepribadian ganda saat ini bertebaran. Rajin shalat, tapi juga semangat bermaksiat.
            Realitas sekolah itu diperparah oleh kondisi lingkungan. Lingkungan buatan sistem sekularisme yang menihilkan nilai-nilai positif yang diajarkan sekolah. Tak ada sinergi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. 
            Persoalan besar lain adalah makin kapitalisasi pendidikan. Padahal, kebijakan ini amat berbahaya bagi rakyat.
            Tanya: Apa bahayanya bagi rakyat Ustadz?
RSL: Kapitalisasi pendidikan ditandai dengan upaya negara untuk melepaskan tanggung jawabnya dalam hal pendidikan, termasuk soal pembiayaan. Ketika pendidikan diserahkan kepada publik, pendidikan tak lagi dipandang sebagai pelayanan umum, namun lebih dominan aspek komersialnya. Akibatnya, biaya mahal tak terhindarkan.
            Kebijakan ini amat memberatkan masyarakat, terutama kalangan miskin. Amat sulit bagi mereka bisa menempuh pendidikan tinggi dan bermutu. Akibatnya, pendidikan hanya dapat dinikmati segelintir kalangan berpunya saja. Terjadilah ‘lingkaran setan’ antara kemiskinan dan kebodohan. Karena miskin, ia tidak dapat mengenyam pendidikan,  akibatnya menjadi bodoh. Karena bodoh, ia tidak mempunyai keahlian dan keterampilan sehingga sulit mencari pekerjaan yang layak, dan akibatnya menjadi miskin. Itu berarti, kapitalisasi pendidikan turut melanggengkan kemiskinan yang dialami mayoritas masyarakat.
Tanya: Ada yang menyatakan, kapitalisasi pendidikan yang identik dengan mahalnya biaya pendidikan itu tidak mungkin dihindari. Sebab, biaya pendidikan memang mahal. Bagaimana tanggapan Ustadz?
RSL: Pendidikan memang mahal. Apalagi pendidikan yang bermutu tinggi dengan fasilitias terbaik. Namun, semua beban biaya itu seharusnya ditanggung Negara, bukan dibebankan kepada rakyat.
Tanya: Tapi, bukankah pendidikan memang merupakan aset bagi individu tersebut?
RSL: Pendidikan bukan semata urusan individu, tapi juga persoalan sosial. Jika negara membebankan biaya pendidikan kepada rakyat, dalam jangka panjang akan memunculkan banyak problem serius. Ketika banyak kalangan, terutama kalangan miskin, tidak dapat mengenyam pendidikan, maka kualitas SDM mereka menjadi rendah, lapangan pekerjaan yang dapat dimasuki menjadi sempit, dan produktivitasnya pun payah. Mereka akan menjadi beban masyarakat. Mereka dituntut memenuhi kebutuhan hidupnya, namun mereka tidak memiliki kemampuan.
Jika hal itu dibarengi kemiskinan akidah, kondisi ini juga akan menimbulkan kerawanan sosial. Berbagai tindakan kriminal dengan motif ingin memiliki harta akan sangat marak.
Itu tak terjadi jika pendidikan ditanggung negara. Barangkali terasa berat, tapi pengeluaran itu tidak akan sia-sia. Katakanlah, untuk mencetak seorang dokter, insinyur, atau akuntan negara harus mengeluarkan uang Rp 500 juta. Mungkin ini terasa sangat besar. Tapi ingat, jika mereka telah menjadi profesional, tingkat produktivitasnya melebihi biaya yang dikeluarkan.

Tanya: Bisa Ustadz gambarkan secara ringkas bagaimana pendidikan dalam Islam?
RSL: Dalam Islam, pendidikan didasarkan pada akidah Islam. Akidah Islam menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, kurikulum, pengetahuan yang diajarkan, metode pengajaran, termasuk penentuan guru dan budaya sekolah dalam semua jenjang pendidikan.
            Pendidikan dalam Islam benar-benar diorientasikan untuk melahirkan generasi yang memiliki kepribadian Islam, menguasai tsaqâfah Islam, dan ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan). Di samping itu, sekolah, keluarga, dan masyarakat berjalan sinergis. Sebab, ketiga unsur pendidikan itu juga dibangun atas dasar akidah Islam.            
Soal pembiayaan, Islam mewajibkan negara memberikan pelayanan pendidikan kepada rakyatnya. Sebab, dalam pandangan syariat, penguasa berkewajiban memelihara, mengatur, dan melindungi urusan rakyat, termasuk dalam bidang pendidikan dan pemberantasan kebodohan.
            Tanya: Jadi, apakah pemerintah harus menggratiskan pendidikan?
RSL: Idealnya begitu. Rakyat harus menikmati pendidikan secara cuma-cuma. Seluruh warga negara juga diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengenyam pendidikan dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan fasilitas sebaik mungkin. Dalam konteks Daulah Islam (Negara Islam), dana pendidikan itu diambil dari kas Baitul Mal. Ketetapan ini diambil berdasarkan perbuatan Rasulullah saw. Rasulullah saw yang juga menjadi kepala negara telah menentukan tebusan tawanan Perang Badar berupa keharusan mereka untuk mengajar sepuluh kaum Muslim.
Tanya: Sebentar Ustadz. Tadi Ustadz mengatakan bahwa pendidikan dalam Islam tersebut gratis, lantas sumber pemasukannya dari mana?
RSL: Dalam Islam, ada banyak sumber pemasukan yang dapat digunakan untuk membiayai pendidikan. Bisa dari kepemilikan umum yang dikelola negara, seperti tambang-tambang yang depositnya berlimpah. Di negeri ini banyak tambang-tambang yang bernilai triliunan rupiah justru dikelola oleh swasta, asing lagi. Bisa juga berasal dari kepemilikan negara, seperti  ghanîmah, kharâj; jizyah, pajak, dan sebagainya. Semua itu, jika dikelola dengan baik, lebih dari cukup untuk membiayai pendidikan rakyat.
Tanya: Ustadz, rakyat sekarang cenderung apatis atau masa bodoh melihat hal ini. Meskipun ini kebijakan yang menyakitkan mereka, rakyat cenderung diam dan pasrah. Lantas bagaimana menyadarkan masyarakat ini, Ustadz?
RSL: Proses penyadaran rakyat harus terus-menerus dilakukan. Penyadaran itu harus menyentuh pada aspek ideologis. Harus disadari bahwa yang menyebabkan mereka sengsara bukan sekadar rezim tertentu yang jika diganti permasalahannya menjadi selesai. Ideologi sekular-kapitalislah yang menjadi biang berbagai krisis dan bencana yang menimpa negeri ini. Rakyat juga harus disadarkan bahwa Islamlah satu-satunya yang pasti akan menyelamatkan mereka.
            Tanya: Hizbut Tahrir, sebagai sebuah partai politik, belakangan sering mempersoalkan masalah pendidikan ini. Sebenarnya, apa yang diinginkan oleh Hizbut Tahrir?
RSL: Pendidikan hanya salah satu di antara sekian banyak problem yang membelit bangsa ini. Jadi, lebih dari sekadar pendidikan, Hizbut Tahrir mengajak kepada seluruh umat untuk bersama-sama memperjuangkan tegaknya syariat Islam secara total di bawah sistem Khilafah. Hizbut Tahrir juga berusaha mengajak umat untuk membebaskan diri  dari berbagai bentuk penjajahan dan hegemoni negara-negara imperialis.
Patut dicatat, itu semua kita lakukan semata-mata untuk mendapat ridha Allah Swt. []

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

bersegeralah dalam kebaikan